Sabtu, 29 Oktober 2016

Pelajaran dari Polemik Aksara Jawa bagi Dunia Literasi di Indramayu Kota Budaya



Aksara jawa 
Sumber: http://sus-mita.blogspot.co.id/2015/12/aksara-jawa.html


Baru-baru ini berita mengenai polemik aksara jawa sempat tersiar kembali. Di situ disebutkan mengenai awal kemunculan aksara tersebut sampai dengan artinya yang buruk dan ganjil. Kemunculan aksara jawa dimulai sejak kepemimpinan Amangkurat II, sosok raja Kasunanan Kartasura yang dianggap anteknya Belanda. Oleh karena itu, kemunculan aksara jawa ini juga diduga menyimpan motif-motif tertentu (yang menguntungkan penjajah). Terlepas dari benar atau tidaknya, ini sungguh mengejutkan mengingat aksara jawa juga sempat diajarkan di sekolah-sekolah. Saya pun sempat mengenyam pelajaran tersebut.

Aksara jawa sendiri merupakan salah satu alat untuk menelusuri jejak sejarah di Indramayu, misalnya melalui teks babad, tembang macapat, “naskah jejer”, dan teks tarekat atau tauhid yang banyak memuat bahasa arab. Ia bukanlah satu-satunya aksara yang digunakan di Indramayu zaman dulu, masih ada aksara lain seperti aksara pegon dan latin. Menurut data sejarah, di wilayah Jawa Barat terdapat tujuh aksara dan bahasa yang pernah digunakan. Ketujuh aksara (huruf) yang dimaksud adalah aksara-aksara Pallawa, Jawa Kuno, Sunda kuno, carakan/Jawa Barat, cacarakan/Jawa, pegon/Arab, dan latin; sedang bahasanya adalah sansekerta, Melayu kuno, Jawa kuno, Sunda kuno, Jawa pertengahan, Arab, dan Sunda.

 
 Naskah kuno Indramayu dan draft terjemahannya
Sumber: bloggermangga.com

Aksara jawa banyak terdapat di dalam naskah kuno, sedang mayoritas dari naskah kuno Indramayu dimiliki oleh para dalang. Mereka biasa pentas menggunakan teks yang umumnya bertuliskan aksara jawa. Meski demikian, masih banyak keluarga pewaris naskah tersebut yang tidak mengetahui arti dari tulisan ini. Masih banyak yang menghubungkannya dengan tradisi-tradisi klenik, semacam menggunakannya sebagai jimat atau menyimpannya di tempat-tempat keramat. 

Sadar atau tidak bangsa Indonesia semakin dijauhkan dengan bahasa dan aksaranya sendiri. Padahal, penguasaan ini sangat penting. Buya Hamka pun mengakuinya. Akhirnya, banyak hal yang menyangkut sejarah Indonesia harus ditanyakan kepada ahli-ahli dari luar negeri. Lucu, mengapa orang luar negeri yang lebih tahu dari kita tentang sejarah kita sendiri? Faktanya, menurut Kepala Perpustakaan Proklamator Indonesia, Soeyatno, pada konferensi pers acara Workshop Nasional, Pameran Kitab dan Naskah Jawa Klasik Nusantara dan Kunjungan Peradaban, Rabu (16/9/15) di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya (UB), sebanyak kurang lebih 26 ribu naskah jawa klasik, ternyata tidak dimiliki oleh Indonesia. Naskah tersebut tersebar di negara luar, khususnya di Inggris dan Belanda. Padahal, naskah tersebut umumnya berisi tembang macapat, kisah sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan bahkan pendidikan. Bahkan saat ini pun masih banyak naskah jawa klasik yang belum diketahui isinya karena orang yang mampu menerjemahkan aksara jawa kuno masih sangat minim. 


Ki Tarka
Sumber: Bloggermangga.com


Kasus lain yang penting dicermati dari sejarah misalnya terdapat pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Sebuah artikel yang saya baca sempat memunculkan 5 versi dalang di baliknya. Atau berbagai kasus terkait budaya kita yang berkali-kali coba diakui oleh bangsa lain. Pada kasus naskah, naskah Laga Ligo dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan misalnya, baru setengah isinya saja yang diketahui. Naskah tersebut kini hanya disimpan di Belanda karena di sini tidak ada tenaga ahli penerjemah yang dapat mengartikan sekaligus merawatnya dengan baik.

Sangat jelas bukan, ketidakpahaman akan aksara dan bahasa asli bangsa Indonesia di masa lalu bisa menyebabkan kekaburan sejarah. Sejarah berpotensi diputarbalikkan, diterjemahkan secara tidak tepat (dikarang), atau dicari-cari kelemahannya. 

Museum Bandar Cimanuk
Sumber: http://log.viva.co.id/news/read/752958-mengenal-sejarah-indramayu-dari-museum-bandar-cimanuk


Saya meyakini bahwa sejarah adalah milik penguasa. Penguasalah yang kemungkinan besar akan menuliskan/mencatatkan sejarah dengan versinya sendiri. Atau setidaknya, sejarah adalah milik orang yang mau mencatatkannya. 

Memang, di Indramayu sudah ada Ki Tarka (Tarka Sutarahardja) yang peduli akan aksara jawa. Selain ahli dalam menerjemahkan aksara tersebut, ia juga mendirikan sanggar aksara jawa Indramayu di rumahnya, di Desa Cikedung Lor, Indramayu. Walau di sini pun masih ada kendala, naskah-naskah terjemahan yang ditulisnya belum bisa dipublikasikan luas karena terkendala dengan biaya percetakan dan penerbitan. Di Indramayu pun sudah ada Museum Bandar Cimanuk, museum yang pembangunannya digagas oleh 15 orang termasuk Ki Tarka. Di dalam museum yang terletak di jalan Veteran No. 3 ini terdapat aneka benda yang mampu mengungkap tentang sejarah keberadaan Indramayu, sejarah sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan serta seni dan budaya di kabupaten Indramayu; termasuk beberapa buku bertuliskan huruf jawa. Namun, jika pada sejarah yang dipelajari terdapat kekaburan, itu berarti ada “lubang” di dalamnya. Ini adalah gambaran dari sejarah masa lalu dan hubungannya dengan masa kini, yaitu ada potensi kekaburan sejarah, kurang mampunya merawat benda-benda bersejarah, sedikitnya orang yang mampu menerjemahkan sejarah, dan kurangnya minat generasi masa kini terhadap sejarah.

Bung Karno pernah mengatakan tentang JAS MERAH (Jangan Melupakan Sejarah). “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.” Begitu ucap presiden pertama RI tersebut. Sekarang mari kita lihat hubungan antara masa kini dan masa depan! Maksud saya adalah di masa depan, masa tempat kita berada saat ini adalah sejarah. Nah, bagaimana agar kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan di masa lalu bisa kita antisipasi?

Etalase buku-buku tempo dulu dan bandring di Museum Bandar Cimanuk
Sumber: Bloggermangga.com

Saat ini, budaya literasi sudah lebih baik dari masa lalu. Di Indramayu pun sudah terlihat perkembangan yang demikian. Di antaranya bisa dilihat dari hal-hal berikut:

1.    Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dilaksanakan dengan menggalakkan budaya membaca buku nonfiksi 15 menit sebelum pelajaran sekolah dimulai, 

2.    Munculnya komunitas peduli minat baca, misalnya komunitas Ngampar Boekoe,

3.    Munculnya Taman Bacaan Masyarakat (TBM), misalnya TBM. Lentera Hati Karangsong; yaitu dengan mendirikan perpustakaan apung Pantai Mutiara Hijau di Desa Karangsong.

4.    Program Perpuseru untuk 8 desa dan 5 taman bacaan di Indramayu
Program Perpuseru ini merupakan upaya untuk mengembangkan perpustakaan umum menjadi pusat belajar masyarakat yang memberikan pelayanan berbasis teknologi, informasi dan komunikasi untuk masyarakat. Program ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan Coca-Cola Foundation Indonesia.

5.    Diraihnya penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka tahun 2016 dengan kategori Birokrat yang peduli terhadap pengembangan perpustakaan dan kegemaran membaca dari Perpustakaan Nasional RI oleh Bupati Indramayu Hj. Anna Sophanah,

6.    Diraihnya Juara 2 tingkat Nasional dalam lomba perpustakaan desa oleh Kabupaten Indramayu,

7.    Diraihnya juara perpustakaan sekolah tingkat provinsi Jawa Barat.

Perpustakaan apung
Sumber: http://www.indramayu.top/2016/09/tjimanoek-sign-taman-kota-kali-cimanuk.html


Kesemua ini diharapkan berpengaruh terhadap meningkatnya minat baca masyarakat Indramayu. Dalam jangka panjang, harapannya kebiasaan-kebiasaan positif ini membuat Indramayu yang ada saat ini akan menjadi sejarah yang baik di masa depan. Selain itu, generasi-generasi di masa depan sudah terbiasa untuk membaca sehingga diharapkan keengganan dan ketidakmampuan dalam mempelajari sejarah akan berkurang. Dari segi tulis pun, sudah ada komunitas menulis di Indramayu, misalnya blogger Mangga (blogger Indramayu). Akan tetapi, masih ada “lubang” di sini. Untuk mencegah adanya potensi kekaburan sejarah, masing-masing penulis tersebut harus dibiasakan dan dilatih untuk selalu menulis dengan baik, benar, dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Ini adalah salah satu cara untuk memelihara budaya kita dan meninggalkan jejak-jejak yang mudah bagi penelusuran sejarah oleh generasi yang akan datang. 

Di dalam setiap peristiwa sebaiknya kita berusaha mengambil hikmahnya, termasuk peristiwa polemik aksara jawa ini. Dan apa yang saya utarakan di atas adalah sedikit upaya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan sejarah dan budaya kita, khususnya yang ada di Indramayu.



Sumber:

http://www.indramayukab.go.id/component/content/article/40-seputar-indramayu/959-bupati-indramayu-raih-nugra-jasadarma-pustaloka.html
https://www.indramayunews.com/budaya-baca-harus-menjadi-unggulan-indramayu/
http://ciumanuk.com/2016/03/program-perpuseru-untuk-8-desa-dan-5-taman-bacaan-di-indramayu/
http://info.kuncimaju.net/index.php/2016/07/17/mengunjungi-sanggar-aksara-jawa-di-cikedung-indramayu/
http://www.malang-post.com/pendidikan/aksara-jawa-dan-tembang-macapat-warisan-leluhur-yang-makin-terlupakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar