Minggu, 28 Juni 2015

Sepotong Kenangan dalam Sebungkus Ragi

Siang itu aku baru saja pulang mengajar. Seperti biasa, kukayuh sepeda melewati persawahan di dekat sana. Jalur itu sengaja kupilih karena merupakan jalan pintas.

“Dini...!” seorang pengendara motor memanggilku.

Dia berhenti sejenak, menungguku agar mencapai jarak yang sangat dekat. Dalam jarak sekitar 60 cm aku bisa mengenalinya sebagai Siti. Kami ngobrol sejenak di tepi jalan, sambil berdiri. Dari situ aku tahu bahwa dia tak lagi berjualan di pasar karena sakit ginjal. Penyakit itu membuatnya harus cuci darah selama beberapa waktu (opname), namun kondisinya sudah membaik saat kami bertemu. Memang ada yang berubah di wajahnya, wajahnya menghitam sebagaimana yang biasa ditemui pada orang yang sakit ginjal. Berbeda denganku, siang itu dia berangkat mengajar. Kami sama-sama mengajar di sekolah swasta, namun di sekolah yang berbeda. Dia mengajar untuk jenjang SMA sedang aku mengajar SD dan SMP. Sejak SMA aku mengenali teman dekatku itu sebagai wanita pekerja keras dan gigih. Dia duduk di depan bangkuku sehingga kami cukup akrab. Beberapa tahun berlalu dia masih tetap sama, baru saja pulih dari cuci darah dia langsung masuk kerja.

Bertemu dengan Siti mengingatkanku akan praktikum biologi SMP. Bapaknya pengusaha tempe sehingga aku bermaksud menanyakan tempat membeli ragi tempe padanya. Tak kusangka dia menawarkan padaku untuk membeli saja padanya. Esoknya, kakak mengabariku bahwa Siti telah datang ke rumah. Dia tak sempat bertemu denganku karena saat itu aku masih mengajar. Beruntung kakak telah membayar tunai harga raginya.
Beberapa waktu pun berlalu, di suatu Ramadan muncul kabar bahwa angkatan kami semasa SMA mengadakan buka bersama sekaligus reuni. Saat itu aku sedang di rumah, tepatnya di kamarku. Tiba-tiba aku teringat akan Siti. Kuraih HP dan segera mengirim pesan padanya. Biasanya SMS-ku selalu gagal, meski dia mengatakan nomernya masih aktif. Aneh, hari itu pesanku masuk. Pesan itu dibalas dengan dering HP-ku disusul dengan terdengarnya suara pria di seberang sana. Aku ragu untuk berbicara dan sempat berpikir salah sambung.


“Halo, halo, Mbak, Siti sudah tidak ada umurnya, sudah bulan (maaf lupa, seingat saya Februari) lalu. Saya jawab nanti takutnya Siti dikira sombong,” pria itu berusaha menjelaskan. Dia memperkenalkan dirinya sebagai kakak Siti. Bisa dibayangkan betapa terkejutnya aku. Jantungku langsung berdesir, rambut-rambut kecil di tubuhku juga langsung berdiri. Merinding rasanya. Selepas SMA aku pernah ke rumahnya beberapa kali, tapi sudah lama kami tak bertemu lagi. Pertemuan di jalan itu seolah-olah untuk berpamitan denganku. Tiba-tiba aku teringat akan betapa dekat jarak antara hidup dan mati. Maut bisa menjemput kita kapan saja, bahkan walau sesaat lalu kita berjumpa dengan orang tersebut. Sebungkus ragi itu adalah tanda perpisahan darinya untuk selama-lamanya. Siti, semoga arwahmu tenang di alam sana, di dalam naungan rahmat Allah dan ampunan dari-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar